augustbluee

“Ersya...ada temen kamu nih dateng” seru wanita paruh baya yang Garry yakini sang ibu dari pemilik rumah.

Tanpa menunggu lama yang dipanggil pun muncul, mempersilahkan Garry masuk ke dalam dan ikut naik ke lantai 2 tempat dimana kamar Ersya berada.

“Udah bawa barang yang gw suruh?”

“Udah nih ada” Ucap Garry sambil menunjukkan barang bawaan ditangannya.

“Yaudah, ngerjain di meja belajar aja”

Ersya mengajak Garry menuju meja belajar yang terletak di sudut ruangan mengahadap ke arah luar jendela dirumahnya. Garry pun mulai membuka buku yang disuruh Ersya untuk bawa.

“Bagian mana yang ga ngerti?” Tanya Ersya

“Semuanya”

“What? Lo ngapain aja sih disekolah”

“Main, ngerokok, cabut, tidur, mak-”

“Stop, gw ga mau tau. Mending lanjut aja”

Garry menuruti perkataan Ersya untuk berhenti berbicara dan mulai fokus dengan apa yang Ersya jelaskan untuk menyelesaikan tugasnya.

Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Tak terasa sudah selama 3 jam mereka mengerjakan tugas—punya Garry lebih tepatnya— bersama. Akhirnya tugas yang dikerjakan pun telah selesai.

Ersya bersiap-siap untuk merapihkan meja belajarnya yang penuh dengan buku dan alat tulis milik Garry.

“Ersya..”

Aksi merapihkan meja belajarnya pun berhenti, Ersya mencoba menengok ke samping kanan—arah Garry berada.

“Kenapa?”

Netra mereka bertemu. Menatap satu sama lain selama beberapa detik. Garry mendekatkan dirinya ke arah Ersya, lalu menciumnya pelan tanpa permisi. Ersya tampak tidak terkejut dengan kehadiran bibir lembut milik Garry yang sedang bersinggah di bibirnya itu. Ersya malah dengan senang hati menerimanya.

Garry tak menyangka Ersya akan membalas Ciuman yang baru saja dia berikan. Yang Garry tau, Ersya hanyalah seorang anak kutu buku disekolahnya. Bagaimana bisa dia memainkan bibirnya selincah ini? Layaknya orang yang sudah hatam sekali akan hal ini.

“Your face is funny. How is it? You think I'm a beginner? Hahaha. Let me show you. Who is Ersya”

Ersya berdiri dari posisi duduknya, berpindah duduk diatas meja tepat di depan tubuh Garry berada. Tangannya mulai menarik dagu Garry mendekat ke arah mukanya.

“You look so handsome here” Ucap Ersya sambil memainkan bibir Garry dengan tangannya.

Garry hanya melihat Ersya dengan tatapan menggoda.

“Try me then. Make me drink your potison”

Ersya tersenyum. Merasakan permainan akan segera dimulai.

Tanpa basa-basi. Ersya langsung mendekatkan dirinya lebih lagi ke Garry, lebih tepatnya ke arah leher Garry. Ersya menghisap lehernya dengan agresif. Menikmati setiap aroma yang keluar dari tubuh Garry.

“Fuckkkk so goodd” Ucap Garry sambil menikmati ciuman Ersya dilehernya.

Mendengar hal itu, Ersya mulai menjilati bagian ungu bekas hisapannya tadi. Memutar-mutarkan lidahnya secara menyeluruh.

Garry yang sudah puas dengan hisapan yang diberikan Ersya, sekarang menariknya ke dalam pangkuannya. Melepaskan Ersya dari lehernya dan menciumnya kembali. Lidah mereka bertemu, Ersya melilitnya dengan nafsu sambil menaik-turunkan tubuhnya tepat diatas benda panjang milik Garry.

Garry merasakan kenikmatan dua kali lipat, benda panjangnya menegang. Ersya yang merasakan hal itu, memindahkan tangannya ke benda panjang milik Garry. Meremasnya, lalu mengocoknya.

“Oh my god fuckk Ersya hahhh-hahhh. Stoppp”

“Oke. Hahhhh-hahhhh. How is it? Is good right?”

“You're insane. Where did you learn all this?”

“You're tellin' me that I'm insane. Don't pretend that you don't love the pain”

“You didn't answer the question”

“It's secret” Jawab Ersya berbisik di telinga Garry

“Now you go home, sesi belajarnya udah selesai” Lanjutnya

Setelah selesai semua adegan yang terjadi. Ersya mencoba bangun dari pangkuan Garry, tapi ditahan lebih dulu oleh si empunya.

“About that. Can i get that study kissing section again?”

Aiden melangkahkan kakinya masuk ke dalam apartment Javier. Lumayan cukup besar untuk seorang yang tinggal sendiri.

“Welcome to my sweet home. Take a seat”

Tanpa membalas pembicaraan si tuan rumah. Aiden langsung duduk menyamankan diri diatas sofa empuk ruang tamu milih Javier.

Canggung menyelimuti mereka berdua. Pasalnya memang mereka tidak pernah sedekat itu. Apalagi sampai main ke rumah masing-masing seperti ini. Aiden saja ingin tahu alasan kenapa bisa seorang Javier meminta taruhan fwb bersamanya.

Javier memutuskan untuk mendekat ke arah Aiden dan ikut duduk disamping dirinya. Sesaat Javier ingin membuka pembicaraan, suara dering telfon milik Javier pun berbunyi.

“Gw angkat telfon dulu”

Aiden mengangguk, lalu menyibukkan diri dengan hp-nya.

“Kalo mau nyalain tv aja” Lanjutnya

Aiden menuruti perkataan Javier dengan menyalakan tv didepannya mencari chanel apa yang bagus untuk dinikmati sembari menunggu Javier selesai dengan urusan telfonnya.

Selang tak berapa lama, Javier kembali duduk bersama Aiden.

“Kayaknya mending lu pulang deh” Ucap Javier disela-sela keheningan mereka.

“Hah?”

“Gw lagi mau sendiri kali ini”

Aiden mendengar hal itu hanya bingung tak mengerti. Javier yang tadi dengan yang sekarang setelah menerima telfon tersebut jelas berbeda. Mukanya suntuk, seperti ada yang mengganggu pikirkannya. Dengan inisiatif yang sangat besar, Aiden memutuskan untuk bertanya.

“Mau cerita? Besok libur. Jadi gw ga ada kegiatan lain”

“You dont have to know my story. I'm full of problems. There was no way”

“You can share with me”

“I'd love to die Aiden. 'Cause i'm a loser in this game”

Aiden mencoba berdiri dari posisi duduknya, berjalan sedikit menuju tepat di depan tubuh Javier.

“Let's go”

“Where?” Jawab Javier, masih dengan tundukan di kepalanya.

“Your room. Let me heal you”

Aiden mengulurkan tangannya ke depan Javier. Dengan isyarat mengajak. Javier mendongak, melihat ke arah Aiden. Lalu mengalihkannya ke tangan Aiden dan menggenggamnya.


Mereka berdua sudah berada di kamarnya Javier. Tapi entah kenapa otak Aiden buntu, tak tau harus apa. Mereka hanya duduk bersebelahan di atas kasur milik Javier. Lagi-lagi canggung menyelimuti mereka berdua.

Untuk kedua kalinya, akhirnya Aiden berinisiatif untuk mengajaknya duluan.

“Hey, liat sini”

Javier yang merasa terpanggil pun menengok ke sumber suara, masih dengan muka datarnya.

“Choose it. You want to let me hear your story or you want me to kiss you?” Ucap Aiden memberi pilihan.

Tiada jawaban dari Javier. Dia masih diam tak bergeming. Aiden mencoba menunggu lebih lama, tapi nyatanya Javier tetap diam tak bersuara dihadapannya.

Tanpa menunggu lebih lama lagi. Aiden mendekatkan dirinya ke arah Javier, mencoba untuk menciumnya secara perlahan dengan lembut. Mecoba menarik perhatian Javier. Bibirnya terasa manis saat dicicipi. Menerima perlakuan seperti itu, Javier tidak bisa menolak. Dibalasnya ciuman dari Aiden dengan sama lembutnya. Lidahnya pun ikut bermain, menyentuh deretan gigi depan milik Aiden. Sungguh candu. Otaknya dibikin mabuk kepayang olehnya. Perutnya diisi dengan kenikmatan yang tak pernah Javier rasakan sebelumnya.

Javier tidak bisa menahannya lagi, tangannya mulai memainkan benda panjang milik Aiden sambil menciumnya dengan intens. Nafas keduanya mulai terengah-engah. Tubuh mereka memanas, meninggalkan benih-benih putih di sekujur tubuh mereka.

“Aiden hahh-hahh. Naik kesini” Ucap Javier, mennyuruhnya untuk duduk dipangkuannya.

Tanpa menjawab, Aiden langsung menerima perintah tersebut. Tangannya ditaruh ke atas pundak Javier. Lalu lanjut menciumnya. Kini lidah mereka yang beradu, menggeliat ke kanan dan ke kiri secara bergantian. Menikmati setiap sentuhan yang diberikan.

“Hahh-hahhhh. Bentarrr”

“Don't make me wait baby”

Javier memulai kembali adegannya. Menciumnya, lalu menghisapnya dengan intens. Menjilat secara menyeluruh bagian bibir depan milik Aiden. Memulainya dengan bagian atas, lalu beralih ke bagian bawah. Sungguh manis rasanya. Aiden yang mulai kehabisan nafas hanya pasrah menerima sambil mencengkeram erat baju milik Javier.

“Hahhhh...hahhh Fucking seriously Aiden, you so addictive” Ucap Javier setelah menghentikan adegan ciumannya bersama Aiden.

“Hahh...hahh Capek ga?” Lanjutnya

“Hahhh....hahhh..yes”

“Oke, let's take some rest”

Setelah adegan panas tadi. Mereka memutuskan untuk beristirahat sejenak dengan menonton tv dengan posisi kepala Aiden yang sudah bersandar nyaman di dada bidang milik Javier.

“Feel better now?” Tanya Aiden sambil mendongak kan kepalanya ke arah muka Javier.

“Yeah, thank you for that. I'm so addicted to you haha. Gimana cara gw bisa dapetin kesempatan ini lagi?”

Aiden mengubah posisinya menjadi telungkup dengan kepala yang masih sama, menghadap ke arah Javier.

“Say you love me, to the end of the world. Then i'll let you use me like a drugs” Ucap Aiden, diakhiri dengan kecupan manis di bibir Javier.

Terdengar suara mobil berhenti dan terparkir tepat di depan gerbang rumah Rion. Tak lama setelah itu, suara bel pun berbunyi.

Tinung....

“Mama? Papa?” Sahutnya

Setelah mendengar suara bel di pintu depan berbunyi, Rion bergegas turun kebawah dengan semangat. Sudah 2 minggu papa dan mamanya tidak pulang ke rumah setelah kepergian mereka ke luar kota dan hanya Rion lah yang tinggal sendiri di dalamnya. Karna Rion anak tunggal, semua harus bisa dilakukan sendiri.

Saat pintunya di buka. Senyum bahagia itu pun sirna. Ternyata yang datang bukan lah orang tuanya, melainkan Mahen.

“Ngapain kesini?” Jawab Rion dengan nada ketusnya.

“Ayo ikut”

“Males”

“Katanya tadi kangen, udah ayo ikut” Ucapnya mengajak sambil menyalurkan telapak tangannya, agar bisa Rion genggam.

Rion sempat ragu dibuatnya. Tapi Rion pun tak akan bisa menolak dibuatnya. Sudah saatnya untuk menyudahi egoisnya dan menerimanya kembali.

Rion menyentuh tangan mahen, lalu menggenggamnya dengan erat. Mahen yang merasakan itu pun ikut tersenyum.

“Jangan ngambek lagi”

“Siapa yang ngambek sih”

“Udah ga usah ngelak mulu, tadi disamperin aja mukanya langsung cemberut gitu”

“Ga tau ah, udah ayo mau kemana” jawab Rion mengalihkan topik, tak mau muka merahnya diliat sama si empunya.

“Ke hatimu aja gimana?”

Rion emang harus banyak-banyak menahan rasa degub di hatinya kalau udah berhadapan dengan buaya rawa level tinggi di depannya ini yang lain dan tak bukan Mahen. Sumpah Mahen makin menjadi-jadi setelah bersamanya.

“Udah mending kamu pulang, aku mau masuk”

“Eh jangan dong, iya iya ayo. Tapi kemananya itu rahasia”

Karna sudah lelah dengan teka-teki yang selalu diberikan Mahen. Akhirnya Rion hanya mengikuti kemana Mahen membawanya.


Di mobil

“Kamu penasaran pasti kan kenapa aku dari kemaren ga ngomong aku lagi ada kegiatan apa” Ucap Mahen membuka pembicaraan.

Rion hanya diam. Menunggu Mahen melanjutkan pembicaraannya. Lagian Rion juga tak tau harus menjawab apa.

“Aku cuma pengen kamu tuh percaya sama apa yang aku lakuin. Tapi karna kamu begitu, aku ga punya pilihan lagi selain harus bilang”

Rion masih diam. Matanya mulai memanas. Mengeluarkan genangan air yang belum sempat tumpah disana. Rasa bersalahnya pun mulai memuncak. Salah memang dia berperilaku seperti itu, harusnya dia percaya. Bukan malah menyudutkannya dengan egois.

“Kamu tau kan bentar lagi ada apa? Bentar lagi bulan agustus. Ulangtahun kamu sama aku. Aku pengen bikin surprise ke kamu. Eh malah kamunya ngambek. Jadinya ga surprise kan”

Mendengar hal itu ada perasaan lega di hati Rion. Tapi, air mata yang tadi ia tahan, sudah keluar dengan derasnya.

“Loh kok nangis. Hey kenapa? Aku salah ya?. Iya emang aku salah. Udah jangan nangis” Ucapnya sambil mengusap air mata Rion di pipinya.

“K-kamu tuh k-kenapa sih?”

“Iya aku salah aku minta maaf ya. Udah jangan nangis lagi dong”

“Enggak, kamu tuh kenapa sih selalu ngebuat aku ga bisa lepas dari kamu itu kenapa. Capek banget aku suka terus” Air mata Rion yang tadi sudah mengering pun, mulai lepas kembali.

Bukan perihal kesalahan Mahen yang membuat Rion jadi nangis. Ternyata emang anaknya aja yang bucin.

“Gemes banget ya tuhan. Sini-sini mau peluk ga?”

Rion melihat ke arah Mahen—yang sudah mengulurkan tangannya ke depan. Menatapnya sebentar. Lalu, langsung memeluknya dengan erat, tak lupa dengan tangis derasnya. Entah mengapa dia menangis. Mungkin karna rasa bersalahnya sudah tidak percaya kepadanya terlebih dahulu.

“Udah jangan nangis. Aku punya sesuatu buat kamu. You know Jaz's song yang judulnya Teman bahagia?” Tanya Mahen dengan posisi yang masih sama seperti tadi. Rion berada dipelukkannya.

“Hmmm...”

Mahen pun mulai memutar lagu Jaz – Teman Bahagia di mobilnya.

“Lirik yang ini”

Mentari pun tahu kucinta padamu Percaya Aku takkan kemana-mana Aku kan selalu ada Temani hingga hari tua Percaya Aku takkan kemana-mana Setia akan kujaga Kita teman bahagia

“You know what? Like the sun and the earth that will never be separated. I'll be always loving you. Like we always do when we were still a happy friend. So, Percaya sama aku. Setia akan kujaga. Karna kita teman bahagia” Lanjut Mahen

“Mahen”

“Iya?”

“I love you”

Tuk...

Sebuah lembaran batu kerikil mendarat tepat di kepala teman sebayanya itu yang sedang dilanda putus cinta perkara pacarnya selingkuh dengan teman satu kelasnya.

“Aw sakitt..” Ucapnya sembari mengusap-usap kepalanya yang kena lemparan batu tadi.

“Jangan bengong, banyak setan disini”

“Ga ngaruh kali, udah diem gue mau meditasi dulu”

Setelah mendapat perintah seperti itu. Akhirnya tempat itu sunyi kembali. Mahen yang karna bosan didiemi temannya itu, mulai menyetel lagu asal diplaylist spotify-nya.

Merasa terganggu dengan suara berisik yang datang dari lagu tersebut, membuat Rion tidak bisa lagi konsen dan mulai memusatkan pikiran dan raganya ke Mahen.

“Berisi tauk”

“Sengaja biar lu ga mikirin terus”

“Cih bawel, udah ah gw mau ke tengah pantai aja”

Selepas perkataannya itu, Rion berdiri lalu pergi berniat mencari tempat sunyi menghindar dari gangguan sahabatnya itu dan mulai mencoba untuk fokus menikmati ketenangan pemandangan alam dan angin sepoi-sepoi disekitarnya.

Mahen yang tau temannya menjauh pergi meninggalkannya, mulai ikut berjalan mengikuti kemana arah Rion pergi dan mulai menyetel lagu Lucky by Jason Mraz tepat dibagian lirik yang berbunyi :

And I'm sailing to through the sea To and island where we'll meet You'll hear the music in the air I'll put the flower in your hair

Mendengar suara alunan musik mendekat, secara refleks Rion langsung melihat ke arah sumber suara. Sudah dia duga. Mahen mencoba mengganggunya sekali lagi.

“Bisa ga si, lu ga usah ganggu. Ini gue‐”

Ucapannya tercekat sesaat Mahen menaruh bunga Edelwis—yang sembarang ia dapat— di selipan daun telinga milik Rion, tepat pada saat lirik terakhir berbunyi.

Rion hanya terpaku, diam dan tidak mengerti harus apa. Mahen memang sudah biasa melakukan hal tak terduga seperti ini, tapi kenapa kali ini rasanya berbeda? Kenapa kali ini hatinya berdegup dengan kencang?

“N-ngapain sih?” Protes Rion

“Cantik”

Mendengar hal itu, jantung Rion tambah berdegup tidak karuan. Mukanya mulai memerah, mulutnya tersenyum tipis menyiratkan tanda bahagia disana.

“Bunganya yang cantik, ga usah geer” lanjut Mahen.

Emang harusnya sedari awal Rion tidak pernah berharap sama kelakuan anak buaya satu ini.

“Tapi boong, iya lu cantik. Semua yang ada di lu tuh cantik. Tapi sayang...”

“Sayang kenapa?”

“Iya sayang jadi pacar aku yuk?”

Tidak ada satu katapun yang keluar dari mulut Rion. Mulutnya bisu. Matanya bengong tak percaya, alisnya menyiratkan tanda tanya. Ini beneran apa kibulan? Pikirnya.

Karna tidak ada jawaban dari sahabatnya itu, Mahen mulai berbicara lagi.

“Gue serius. Sama kaya di lirik lagu Lucky by Jason Mraz yang ini”

I keep you with me in my heart You make it easier when life get hard Lucky I'm in love with my bestfriend Lucky to have been where i have been Lucky to be coming home again

Mahen menyanyikan lagu itu diiringi penyanyi aslinya. Matanya tak lepas menatap dua manik putih berbinar di bola mata milik Rion.

“You're my home Rion. I want you to be mine. Can i?”

“Sejak kapan?”

“Sejak....jawab dulu, baru kasih tau”

“Iya mau” Ucapnya malu-malu dengan suara kecilnya.

Mendengar hal itu, otak jail Mahen pun mulai bekerja.

“Mau apa? Ga denger.”

“Mau elah mau lu ga usah ngajak berantem. Cepet jawab sejak kapan itu gue penasaran”

Emang benar adanya pepatah yang mengatakan, Jangan bangunkan harimau yang sedang tidur. Ya, ini contohnya.

“Sejak...apa hayo?”

Persetan dengan pepatah. Karna makhluk didepannya ini lebih lucu untuk digoda.

Rion memutar bola matanya, malas dengan perkataan Mahen yang begitu-begitu saja tidak ada perkembangan.

Udah tau Rion penasaran, pake diajak main. Diajak berantem baru tau rasa.

Rion mencoba berdiri berniat ingin pergi, tapi dicegat terlebih dulu oleh Mahen.

“Sebenernya ga tau Sejak kapan. Tapi gue udah mulai nyaman dari pertama kita temenan. Awalnya gue kira ini cuma rasa sayang gue ke temen. Tapi ternyata beda. Rasanya sakit waktu lu liat sama yang lain dan rasanya bahagia waktu lu sama gue itu ada disini. Udah gitu aja. Puas?”

“Lucuuu, muka kamu merah” Canda Rion gantian membuat yang di goda mukanya semakin memerah.

“Love you, my Mahen. Thank you for always by my side. Unexpectedly, it turns out that you've been my home from the start”

Tanpa basa-basi. Mahen langsung menarik Rion ke dalam pelukannya dan menciumnya selembut mungkin, menyiratkan rasa sukanya yang telah lama terpendam dan tak berharap akan di balas. Akhirnya semua itu sirna.

The love if his life is in front of him now